BRIGATA CURVA SUD
BRIGATA CURVA SUD
Timing kehadiran mereka memang seperti sangat pas: ketika Slemania mengalami penurunan, mereka hadir menjadi alternatif dengan gaya yang berbeda, lebih progresif, dan, meminjam ucapan seorang kawan, ‘seperti ultras-ultras luar negeri yang sering kita lihat di TV’.
Brigata Curva Sud: Ultras Santun yang Menjadi Anomali di Sepakbola Indonesia
Timing kehadiran mereka memang seperti sangat pas: ketika Slemania mengalami penurunan, mereka hadir menjadi alternatif dengan gaya yang berbeda, lebih progresif, dan, meminjam ucapan seorang kawan, ‘seperti ultras-ultras luar negeri yang sering kita lihat di TV’.
Gaya berbeda inilah yang menjadikan mereka begitu menarik, dan pada akhirnya, membuat mereka mengalami perkembangan yang pesat. Anak-anak Sleman, yang dulunya mungkin tak terlalu peduli pada klub lokal mereka, menjadi bersemangat ketika gerakan ultras seperti suporter-suporter Eropa sana hadir di wilayah sendiri. Mereka ingin bergabung, merasakan kultur ultras yang sebenarnya dan tak hanya membayangkan saja bagaimana rasanya menjadi pendukung Borussia Dortmund atau AC Milan di tribun selatan Westfalenstadion atau San Siro.
Atmosfer ultras yang terbangun menyita perhatian suporter Sleman lainnya
Harus diakui, gerakan ultras sepakbola, sejak dulu, memang merupakan hal yang ‘seksi’. Meski di satu sisi ultras identik dengan kekerasan, tapi di sisi lain, loyalitas, semangat, dan kreativitas ultras di Eropa memang selalu menarik minta hampir semua pecinta sepakbola di seluruh dunia.
Karenanya tak mengherankan ketika BCS mengadopsi gaya yang sama, banyak orang menaruh minat pada mereka. Menariknya, gaya ultras Eropa ini tak diadopsi mentah-mentah oleh BCS. Brigata Curva Sud berusaha mengambil aspek positif dari gaya ultras Eropa dan berusaha membuang aspek kekerasan dari gerakan mereka. Hasilnya: BCS menjadi sebuah gerakan ultras yang santun!
ULTRAS YANG MENDIDIK
Sebetulnya, sulit dipercaya bahwa sebuah gerakan suporter yang begitu masif dan luar biasa seperti Brigata Curva Sud bisa berjalan tanpa adanya kepengurusan yang jelas sebagaimana kelompok suporter normalnya. Tapi inilah kenyataannya: salah satu manifesto BCS adalah ‘No Leader, Just Together’ (Tak ada pemimpin, hanya kebersamaan).
Ini memang bukan hal yang baru. Seperti yang pernah dikisahkan dalam Seri Suporter Indonesia di FourFourTwosebelumnya, salah dua kelompok suporter terbesar di Indonesia, yaitu Bonek dan Aremania, juga memiliki kultur serupa: tak ada ketua, tak ada struktur kepemimpinan. Tapi jika Anda melihat apa yang sudah dihasilkan oleh BCS selama ini, Anda mungkin akan lebih kaget dengan fakta bahwa tidak ada kepemimpinan yang sebenarnya di tubuh kelompok suporter ini.
Begini, BCS bukan hanya berkreasi dengan pyro, bom asap, dan nyanyian sebagaimana suporter Indonesia biasanya – mereka juga secara reguler menampilkan koreo-koreo yang rumit yang hanya bisa dihasilkan lewat koordinasi panjang antar member dan mungkin komunitas yang menjadi anggota BCS. Selain itu, mereka juga menunjang kebutuhan kreatif mereka dengan usaha sendiri, di antaranya lewat CS Shop (distro) dan CS Mart (toko kebutuhan sehari-hari).
Singkatnya, BCS bukan hanya sebuah kultur, komunitas, atau kelompok suporter biasa sebagaimana Bobotoh, Bonek, atau Aremania. Apa yang mereka lakukan sejauh ini lebih mirip seperti sebuah organisasi suporter yang tersusun rapi.
Untuk sebuah kelompok suporter yang tak memiliki kepengurusan yang jelas, apa yang mereka hasilkan sejauh ini adalah luar biasa. Tanpa kepemimpinan yang pasti, BCS bisa beroperasi dengan baik dengan mengandalkan kontribusi setiap anggotanya. Ini semacam situasi utopis yang diimpikan kaum sosialis di seluruh dunia: kehidupan di mana setiap anggota masyarakat, atau dalam hal ini anggota kelompok, memiliki dan menjalani tugasnya masing-masing tanpa harus ada paksaan dan kepemimpinan dari negara atau partai.
Komentar
Posting Komentar